Informasi Dalam Genggaman

Larangan Koruptor Harusnya dari Parpol

JAKARTA – Diaturnya mantan koruptor untuk ikut kontestasi Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diyakini menjadi terobosan dalam demokrasi di Indonesia. Hanya saja, aturan tersebut seharusnya dicetuskan oleh partai politik dan diatur dalam Undang-Undang Pilkada.

Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan jika dimasukkannya aturan tersebut ke dalam UU Pilkada justru terlambat. Hal ini semakin memperjelas jika partai politik sebenarnya tidak ingin ada aturan tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah jauh hari menggaungkan aturan tersebut. Namun, tidak segera dibahas. “Padahal, kalau ada kemauan dari legislatif bisa segera dibahas. Selanjutnya diundangkan tanpa menunggu uji materi ke MK,” kata akademisi Universtas Islam Al Azhar kepada FIN di Jakarta, Senin (16/12).

Jika sekarang mencuat wacana legislatif ingin memasukkan aturan tersebut ke dalam UU Pilkada, diyakini bukan karena keinginan partai. Justru keterpaksaan partai mengikuti aturan yang sudah diputus MK. “Sebenarnya ini kan mempersempit ruang gerak partai. Karenanya memang tidak diinginkan sehak awal,” bebernya.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut, aturan mengenai jeda lima tahun mantan koruptor harus dipatuhi. Meski belum tertuang di dalam PKPU, seluruh peserta Pilkada wajib menaatinya. Ia menyebut, meskipun tidak ada di dalam UU Pilkada, aturan tersebut sudah resmi berlaku sejak dibacakan oleh Hakim MK.

“Kalau waktunya mendesak tidak perlu dimasukkan ke dalam PKPU. Tapi saya kira masih cukup waktu. Kenapa saya bilang kalau mendesak dan tidak perlu? Karena sebelumnya saya juga pernah mengajukan ke MK soal Surat Keterangan (Suket) pengganti KTP untuk digunakan dalam pencoblosan,” jelas Refly.

Keputusan MK yang membolehkan Surat Keterangan sebagai pengganti KTP-el bisa digunakan sebagai syarat pencoblosan baru dikabulkan dua hari sebelum hari pemilihan berlangsung. “Karena waktunya mepet dan tidak memungkinkan dilakukan revisi PKPU. Jadi keputusan tersebut tetap sah dan berlaku,” jelasnya.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Putusan tersebut menyatakan jika, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.

Keputusan MK final dan mengikat. Untuk saat ini baik KPU maupun DPR harus mengikuti. Ketua DPP PKS ini juga mendorong segera dilakukan revisi UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 pascaputusan MK. Menurutnya, untuk mewujudkan harapan masyarakat berupa memiliki pemimpin yang bebas dari kasus korupsi dan berintegritas, maka putusan MK itu harus diatur di dalam sebuah UU.

“Ke depan, DPR berhak mengajukan kembali norma hukum yang menguatkan keputusan MK. Misal jika sudah lima tahun masih ada kasus mantan terpidana korupsi terpilih dan kembali korupsi bisa dikuatkan pasal ini. Intinya ruang publik di atas hak individu,” tandasnya.(fin)